Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, kenapa kita perlu bertaubat? Apa reaksinya? Apakah kita merasa perlu bertaubat sesekali, atau melakukannya terus menerus? Mungkin, ada orang yang menganggap tidak perlu bertaubat terus menerus. Ada juga yang justru merasa sangat perlu melakukan-nya. Bahkan jika mungkin, ingin melakukan-nya setiap saat.
Bagi yang merasa tidak perlu mengulang-ulang taubat, alasannya, pasti karena mereka merasa tidak ada kesalahan yang menjadikan-nya perlu senantiasa memperbarui taubat. Tapi bagi yang merasa sangat mementingkan taubat, itu dilandasi kesadaran sebagai manusia mereka tidak terlepas dari kekhilafan. Apalagi kesalahan kepada Allah Maha Pencipta.
Bila kita melakukan kesalahan terhadap seseorang, cara terbaik untuk menyelesaikannya, adalah dengan meminta maaf. Meminta maaf, awalnya memang sangat berat. Sebabnya adalah rasa malu, segan dan sebagainya. Tapi apabila dilakukan, ternyata itu lebih bermanfaat. Pikiran menjadi lebih tenang, dan jiwa menjadi tentram. Suasana hati pun otomatis menjadi damai. Itu pasti. Sebaliknya, andai kita menunda permintaan maaf kepada orang tersebut, hati kita akan penuh dengan perasaan galau, gelisah.
Jika terhadap sesama manusia kita sanggup meminta maaf, hatta atas kekhilafan yang kecil, apalagi kesalahan yang terkait dengan Allah SWT. Harusnya, kita lebih segera lagi meminta ampun. Karena sebenarnya, tak ada manusia yang tak bersalah, bahkan siapapun manusia sangat banyak memiliki kesalahan dan kekurangan di hadapan Allah.
Hanya Rasulullah yang bersifat ma’sum, terlepas dari kesalahan dan dosa. Itupun, setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah ke muka bumi, senantiasa bertaubat dan memohon ampun kepada Allah.
Apapun anggapan orang, sebenarnya manusia sangat banyak melakukan kesalahan dan dosa. Ada ulama yang mengatakan, bahwa manusia itu, kedipan matanya saja sudah dapat mengandung dosa. Dosa mata dengan penglihatan, dosa telinga dengan pendengaran, dosa tangan dengan perbuatan, dosa kaki dengan langkah dan gerakan, dosa hati dengan niat dan maksud, dosa lidah dengan tutur kata, dan sebagainya.
Ada orang yang menganggap melakukan dosa kecil itu merupakan kesalahan sepele dan karenanya tidak akan berdampak apa-apa. Padahal, justru orang yang menganggap kesalahan yang dilakukan sebagai dosa kecil, sebenarnya sangat mungkin ia telah memiliki dosa yang besar. Dosa kecil, ibarat debu beterbangan yang melekat pada kain. Jika dibiarkan terus menerus, kain itu pun akan menjadi kotor juga. lllustrasi seperti itu yang digambarkan oleh Rasulullah SAW. “Sesungguhnya iman itu muncul dalam hati bagaikan sinar putih. Kemudian dosa muncul pada hati seperti titik-titik hitam. Lalu merebak sampai seluruh hati menjadi hitam legam.”
Sebab itu orang yang menggunakan akal fikiran sehat, tidak mau mengisi waktunya dengan perbuatan yang sia-sia. Seperti mengumpat atau mencari kesalahan orang lain. Ia lebih berharap agar menjadi orang yang lebih disibukkan oleh kesalahan pribadi, daripada kesalahan orang lain. Allah SWT berfirman, “Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itu adalah orang yang aniaya.”(QS. Al-Hujuraat: 11)
Mengetahui besar dan bahaya dosa, merupakan langkah pertama seseorang untuk meninggalkan dosa. Hal ini yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali dalam tahap ilmu (mengetahui). Artinya, seorang tak akan melakukan taubat kecuali setelah ia menyadari bahaya dosa. Dari kesadaran ini, seseorang akan menjauhi segala kemaksiatan, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak melakukannya di masa yang akan datang. Rasul bersabda, “Taubat itu adalah penyesalan.”(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan AI-Hakim, dengan sanad shahih)
Mempercayai dosa sebagai racun mematikan, termasuk konsekuensi iman. Rasul SAW pernah mengaitkan berkurangnya kesempurnaan Iman dengan perbuatan maksiat. “Seseorang tidak mungkin berzina, sedangkan ia orang yang beriman.”(Muttafaq alaih). Secara timbal balik, perbuatan zina itu akan mengurangi iman seseorang.
Orang yang melakukan zina, sama saja dengan tidak mempercayai larangan Allah SWT. Allah SWT melarang zina, antara lain, karena zina akan melahirkan banyak bahaya pada pelakunya, maupun masyarakat. Sama dengan seorang dokter yang menyatakan, “jangan sekali-kali minum ini, karena ini adalah racun yang mematikan.” Pasien yang tetap meminum racun, sama artinya ia tidak percaya dengan nasihat dokter. Atau, ia tidak percaya bahwa pernyataan dokter itu adalah benar.
Dari analogi sederhana ini, pelaku kemaksiatan berarti menderita pengurangan iman. Bayangkan, bila kondisi seperti ini, kita alami di saat kita tiba pada tapal batas usia yang Allah berikan. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Orang yang tidak segera bertaubat terancam bahaya besar. Hatinya menjadi gelap dan berkarat. Kemudian bila ia didatangi sakit atau maut, berarti dia menghadap Allah dengan hati yang tidak sejahtera.” Dan itu pula sebabnya, Al-Ghazali menyatakan bahwa taubat wajib dilakukan terus menerus, dan sesegera mungkin.
Tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya ajal. Hikmah yang paling utama adalah, agar setiap manusia berupaya melakukan amal shalih sepanjang hidupnya.
Rasulullah SAW selalu berdo’a agar ia menghadap Allah SWT dalam kondisi yang baik. Beliau kerap mengucapkan, “Ya Allah, jadikanlah kebaikan itu pada penghujung umurku.
Ya Allah jadikanlah kesudahan amalku itu adalah ridho-Mu. Ya Allah jadikanlah saat yang terbaik bagiku adalah ketika aku menemui-Mu.”(HR. Thabrani)
Dalam hadits lain, disebutkan munajat Rasulullah SAW, “Ya Allah jadikanlah kebaikan itu pada penghabisan umurku. Dan kebaikan amalku adalah kesudahannya, dan waktu yang terbaik adalah saat menemui-Mu.” (HR. Thabrani)
Demikianlah untaian do’a utusan Allah SWT yang telah dijamin keselamatan hidupnya, di dunia dan akhirat. Beliau juga kerap memotivasi ummatnya agar memiliki akhir yang baik dalam hidup. Suatu ketika, Nabi SAW bersabda, “Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya, maka Ia akan menggunakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Apa maksudnya ya Rasulullah?” Rasul kemudian menjawab, “Allah akan menjadikannya beramal shalih, lalu Ia wafatkan pada waktu itu.”(HR Turmudzi)
Karenanya, menurut Rasulullah, nilai kebaikan seseorang tidak dapat ditentukan, sebelum diketahui bagaimana akhir hayatnya. “Jangan terburu tertarik dengan amal yang dilakukan oleh seseorang, sebelum engkau melihat bagaimana akhir hidupnya. ”(HR. Ahmad)
Bila tak ada yang tahu tapal batas usia manusia, dan tidak ada manusia yang suci dari dosa, kenapa kita harus menunda-nunda taubat. Segeralah mohon ampun, beristighfar pada Allah. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang diberi karunia, menemui-Nya dalam keadaan yang paling baik. Amiin.
No comments:
Post a Comment